Wednesday, 7 March 2012

Umurku Lebih dari 12 Tahun


"Bapak tindhak sik yo, nduk (Bapak pergi dulu ya, nak, red)," kata Bapak lalu mengecup keningku.
Itulah kata-kata terakhir sebelum meninggalkan rumah, setiap ia berkunjung. Bapak menggunakan kata "tindhak" atau pergi, bukan "muleh" atau pulang, untuk berpamitan. Seolah-olah Bapak memang tinggal di sini, di rumah ini, lalu pergi ke suatu tempat, untuk kembali, tak lama lagi. Kenyataannya Bapak bukan pergi (sebentar), ia pulang ke rumahnya, rumah betulannya, tempat ia tinggal bersama istri (baru) nya dan anak-anaknya (adik-adik tiriku).

Jadi setelah usia saya bertambah dengan angka-angka yang makin besar, lebih besar dari usiaku yang 12 tahun (baca: Umurku 12 Tahun) Bapak memang datang lagi. Kala itu aku sudah dewasa dan keluarga kami sedang mempersiapkan pernikahan kakak perempuanku, si sulung.

Saat jumpa lagi Bapakku, yang bukan hanya angan-angan pria berseragam polisi, kudapati beliau sebagai pria yang lucu, asyik dan menyenangkan. Banyak cerita lucu atau cerita-cerita bijaksana Bapak yang aku cerna, menjadikannya bekal untuk hidupku di masa yang akan datang. Hey, ini Bapak ku lho, tak ada salahnya kan aku serap ilmunya, sikap-sikap bijaksananya, sifat-sifat positifnya, bukan?

Kehadiran Bapakku, walau bukan untuk “pulang” melainkan cuma menjadi wali pernikahan anak perempuan sulungnya (yaitu kakakku), menjadi obat yang mujarab bagiku. Aku menjelma menjadi manusia yang percaya diri. Nampaknya bukan semata-mata karena sudah ketahuan aku punya Bapak, tapi karena kenyataan bahwa Bapakku orang yang asyik. Aku mulai bisa menilai yang asyik-asyik tak semata-mata kaya atau pintar. Yang geblek-geblek seperti Bapak pun asyik. Membuat aku yakin, bakal diterima di masyarakat dengan apa adanya diriku.

Perlahan-lahan kepercayaan diriku naik. Teman jadi banyak, perjalanan hidup menjadi terasa ringan, dan akunya being an easygoing person. Prestasi memang nggak seberapa, kekayaan yah so so lah. Tapi aku punya rasa percaya diri. Aku mencintai diriku sendiri. Aku menikmati keseharianku, mencerdaskan diri dengan pengalaman hidupku maupun orang lain. Aku memilih menjadi wartawan. Yang menurutku bisa bikin aku banyak belajar, sambil kerja. Cerdas kan?

Setelah kakak pertama menikah, disusul kakak kedua, yang keduanya perempuan, yang keduanya dengan wali Bapak. Lalu Bapak meninggal dunia. Meninggalkan aku yang sudah terbebas dari rasa minder berkepanjangan di masa kecil. Terima kasih Bapak. Semoga Tuhan mengabulkan doaku selalu. Tuhan, terimalah Bapak di sisiMu. Lapangkan “jalan”-nya, jauhkan dari siksa kubur dan siksa api neraka. Aamin.

No comments:

Post a Comment