Wednesday, 7 March 2012

Di Suatu Pesta


Suatu hari, pada sebuah conference chat bbm tertulis info undangan, ulang tahun seorang teman, di sebuah club, di hari selasa (rabunya libur nasional). Tentu saja diiringi dengan mau datang atau tidak, teknis gimana ke sananya, serta soal patungan kado.

Chat conference kami ini lahir dari keinginan kami untuk ngobrol simpang siur. Terdiri dari 5 orang, mantan almamater sekolah yang sama, namun dari angkatan yang berbeda-beda. Tidak ada yang sama dari kami. Angka angkatannya berbeda semua, rentangnya dari lulus sma tahun 1984 sampai 1992. Statusnya sebagian besar sama, istri dan ibu, kecuali aku yang single ting ting.

Perbedaannya lagi, profesi. Seorang guru playgroup, lainnya ada yang pembuat dessert, desainer baju dan pengusaha jahitan, MC dan pembawa acara kondang, serta aku, seorang wartawan salon. Karena perbedaan angkatan, sesungguhnya kami tidak pernah ketemu di sekolah, meskipun kami dibilang berada dalam struktur pendidikan yang sama di masa SMA, karena melangkah dari alamamater yang sama itu. Dengan demikian ada benang merah yang tebal dan sangat merah yang mengikat kami satu sama lain. Apakah itu? Sulit dijabarkan, mungkin kita sebut saja karakter. Hmm nggak tepat juga, atau set of mind deh. Apa sih set of mind? Auk ah… hahaha…

Malam itu tiba. Dengan agak bersirkus kami sampai di club itu, mula-mula bertiga, yang 2 muncul kemudian, lengkaplah kami berlima, disambut sumringah the about to be birthday girl (ulang tahunnya nunggu jam 12 malam). Tamu-tamu ada di penjuru space yang dipesan, lalu tamu-tamu lain berdatangan. Sibuk joget, sibuk mencerna musik, sibuk melintir berduaan sama siapa sebagai pegangan, dan tentu saja sibuk menuang dan meneguk minuman. Nggak ada obrolan yang berarti di antara kerasnya musik itu. Nggak ada tingkah laku yang statis karena semua bergoyang mengikuti irama. Yang ada hanya tebak-tebak buah manggis, si A ngomong apa ya? Si B menjawab apa ya? Eh dia ketawa, ya aku ketawa juga. Namanya juga di club. Nggak kedengeran!

Sekolah kami dulu itu sekolah homogen. Semua muridnya perempuan. Hingga suka kumpul lagi sekarang pun, kebanyakan dari sekolah yang sama itu, jadi kebanyakan perempuan. Tetamu di pesta ini rupanya merupakan ring satu-nya the birthday girl. Ada beberapa groupies dari sekolah lain, bisa perempuan, bisa laki-laki. Tapi ya sudah lah, kebanyakan memang perempuan. Orientasinya, tentu saja kebanyakan straight. Tapi yang lesbian juga tak cuma sepasang, ada berpasang-pasang. Termasuk yang kami duga lesbian. Lesbian atau tidak bukan untuk diduga-duga sih, tapi kesenangan meningkat melalui dugaan (dan kenyataan) itu. Ahaaay.

Setelah pesta usai, kisah semalam pun menjadi jalinan cerita yang entah benar entah tidak, tapi menyenangkan. Padahal bukan semata-mata ngomongin “dia”, banyak juga kalimat-kalimat berkonotasi negatif yang ditujukan pada diri sendiri. Negatif itu maksudnya lesbian. Eh tapi lesbian bukan negatif sih ya. Jadi ya nggak apa-apa. Aku merasa seperti dikunjungi teman-teman. Welcome to the club! Hahaha.

Umurku Lebih dari 12 Tahun


"Bapak tindhak sik yo, nduk (Bapak pergi dulu ya, nak, red)," kata Bapak lalu mengecup keningku.
Itulah kata-kata terakhir sebelum meninggalkan rumah, setiap ia berkunjung. Bapak menggunakan kata "tindhak" atau pergi, bukan "muleh" atau pulang, untuk berpamitan. Seolah-olah Bapak memang tinggal di sini, di rumah ini, lalu pergi ke suatu tempat, untuk kembali, tak lama lagi. Kenyataannya Bapak bukan pergi (sebentar), ia pulang ke rumahnya, rumah betulannya, tempat ia tinggal bersama istri (baru) nya dan anak-anaknya (adik-adik tiriku).

Jadi setelah usia saya bertambah dengan angka-angka yang makin besar, lebih besar dari usiaku yang 12 tahun (baca: Umurku 12 Tahun) Bapak memang datang lagi. Kala itu aku sudah dewasa dan keluarga kami sedang mempersiapkan pernikahan kakak perempuanku, si sulung.

Saat jumpa lagi Bapakku, yang bukan hanya angan-angan pria berseragam polisi, kudapati beliau sebagai pria yang lucu, asyik dan menyenangkan. Banyak cerita lucu atau cerita-cerita bijaksana Bapak yang aku cerna, menjadikannya bekal untuk hidupku di masa yang akan datang. Hey, ini Bapak ku lho, tak ada salahnya kan aku serap ilmunya, sikap-sikap bijaksananya, sifat-sifat positifnya, bukan?

Kehadiran Bapakku, walau bukan untuk “pulang” melainkan cuma menjadi wali pernikahan anak perempuan sulungnya (yaitu kakakku), menjadi obat yang mujarab bagiku. Aku menjelma menjadi manusia yang percaya diri. Nampaknya bukan semata-mata karena sudah ketahuan aku punya Bapak, tapi karena kenyataan bahwa Bapakku orang yang asyik. Aku mulai bisa menilai yang asyik-asyik tak semata-mata kaya atau pintar. Yang geblek-geblek seperti Bapak pun asyik. Membuat aku yakin, bakal diterima di masyarakat dengan apa adanya diriku.

Perlahan-lahan kepercayaan diriku naik. Teman jadi banyak, perjalanan hidup menjadi terasa ringan, dan akunya being an easygoing person. Prestasi memang nggak seberapa, kekayaan yah so so lah. Tapi aku punya rasa percaya diri. Aku mencintai diriku sendiri. Aku menikmati keseharianku, mencerdaskan diri dengan pengalaman hidupku maupun orang lain. Aku memilih menjadi wartawan. Yang menurutku bisa bikin aku banyak belajar, sambil kerja. Cerdas kan?

Setelah kakak pertama menikah, disusul kakak kedua, yang keduanya perempuan, yang keduanya dengan wali Bapak. Lalu Bapak meninggal dunia. Meninggalkan aku yang sudah terbebas dari rasa minder berkepanjangan di masa kecil. Terima kasih Bapak. Semoga Tuhan mengabulkan doaku selalu. Tuhan, terimalah Bapak di sisiMu. Lapangkan “jalan”-nya, jauhkan dari siksa kubur dan siksa api neraka. Aamin.

Thursday, 26 January 2012

Umurku 12 Tahun


Umurku 12 tahun. Pria berseragam polisi, dari topi sampai sepatu, menelusuri koridor dari gerbang ke kelas-kelas di sekolahku, saat aku di tingkat TK. Cuma itu gambaran tentang Bapak. Gambaran itu ingatan atau khayalan? tak tahu lagi. Bapak tak ada di rumah. Tak tahu kebiasaannya pagi-pagi ketika sibuk persiapan kerja, tak tahu kebiasaannya malam-malam ketika menjelang tidur. Aku tak tahu apa-apa tentang Bapak. Ya cuma itu...koridor itu.

Umurku 12 tahun. Hidup penuh lamunan, hampir tak ada kegiatan lain. Lamunan panjang dari umur 10 tahun. Ketika ibuku menghibur aku dan abang dengan makan Bakmi GM dan dan mainan view master. Hanya untuk bicara "Nak, Bapak bukan sedang bertugas di Kalimantan, dia menikah lagi." Bengong, tak mengerti artinya, tak tahu penyebabnya, gelap bagaimana kelanjutannya.

Umurku 12 tahun. Prestasi merosot dari kelas 4. Raport dengan beberapa angka 5 yang warnanya merah. Prestasi itu apa? aku tak tahu. Kenapa murid harus juara? Aku tak tahu. Kenapa murid harus punya piala? Aku tak punya sama sekali. Ada PR apa? Ada ulangan apa? Aku nggak peduli, nggak tau kenapa harus dikerjakan. Tak ada ambisi, tak ada sesiapa yang mendorong aku untuk unggul.

Umurku 12 tahun. Berdiri bersandar di pintu kelas bagian luar, saat keluar main. Memandang teman-teman bermain. Melamunkan mereka adalah temanku, tapi bukan. Buktinya aku nggak diajaknya bermain. Aku tak pernah tersenyum, aku tak tahu bagaimana cara bergaul. Ucapan selamat pagi, apa kabar, salam sejahtera, minta tolong, terima kasih, silakan, dll, tak pernah terucap dari mulutku. Tak tau kalau itu perlu. Tak ada yang bilang padaku begitu.

Umurku 12 tahun. Aku tak punya teman. Perhatianku hanya pada teman sebangku, yang tak pernah kuajak bicara dan tidak mengajakku bicara juga. Meluas ke teman-teman di sekitar teman sebangku. Perhatianku pada si Desi. Perhatian yang sedetail-detailnya, sampai ke kebiasaan diantar siapa waktu datang, melakukan apa saja di kelas, hingga dijemput siapa pulang sekolah. Bingung, kenapa si Desi? kenapa nggak si Herman atau si Ivan?

Umurku 12 tahun. Aku melahirkan tokoh Yasmin. Aku mengkhayalkan si Yasmin, anaknya Pak Sutomo. Cerita aseli, nama palesu.

Saturday, 7 January 2012

Ditelikung itu...yah sudahlah


Kata pada judul di atas memang bukan kata kerja yang positif. Apalagi ditambahkan kata lain di belakangnya menjadi menelikung pacar, menelikung gebetan, menelikung istri orang. Waduh! Telikung menelikung sering kita dengar terjadi dimana-mana. Bagaimana urusan telikung dan menelikung di kehidupan lesbian, pernah terjadikah? Sering!

Kelompok-kelompok lesbian hadir on and off dalam kehidupanku. Setelah off beberapa lama, masuk lagi terkoreksi beberapa pasangan yang sudah lepas, tercipta pasangan baru. Bisa bertukar, bisa mantan sesiapa menjadi pasangan sesiapa yang lain. Mencengangkan? Memang!

Lalu seseorang bercurhat, gebetannya ditelikung sama temannya sendiri. Ia kemudian berkongsi dengan mantan penjahat penelikung itu. Apa yang dilakukan dengan kongsian itu? Ya tak ada, cuma saling memuncratkan curhat saja. Tentu saja disertai sikap nyinyir, sikap menjelek-jelekan siapa saja yang merugikan baginya. Saya yang netral, berkesempatan/ menyempatkan diri sih tepatnya bergabung juga dengan pihak yang menelikung teman saya itu, dengan kelompoknya, tentunya. Yang terdengar adalah curhatan senada, nyinyir dan menjelek-jelekkan pihak sana. Saya sering menghayalkan reaksi saya (menghayalkan karena kenyataannya saya nggak bereaksi apa-apa, alias lempeng): tutup kuping, menggeleng-gelengkan kepala dan berteriak tidak tidak tidaaaak....(begitu khayalannya). Hari pun habis (maksudnya udah malem) dan kami pulang ke rumah masing-masing. Leganya, aku jadi diriku sendiri lagi. Seperti anak kecil di jam tidur siang, saya pun mengendap-endap keluar. Off from that community. Jadi netral dan nggak masuk-masuk lagi dalam waktu yang sangat lama. Tapi, saya sudah bisa menduga, nanti nih setelah waktu yang sangat lama itu berlalu, saya masuk lagi ke salah satu kelompok ini, daaaaan situasi sudah berubah. Maksudnya situasinya sama, tapi dilakukan oleh sosok-sosok yang berbeda. Lalu saya off lagi dah... haaadeeegh capek!

Alangkah indahnya berada pada situasi pertemanan yang harmonis. Situasi yang justu aku dapatkan di kelompok teman-teman hetero.