Thursday, 26 January 2012

Umurku 12 Tahun


Umurku 12 tahun. Pria berseragam polisi, dari topi sampai sepatu, menelusuri koridor dari gerbang ke kelas-kelas di sekolahku, saat aku di tingkat TK. Cuma itu gambaran tentang Bapak. Gambaran itu ingatan atau khayalan? tak tahu lagi. Bapak tak ada di rumah. Tak tahu kebiasaannya pagi-pagi ketika sibuk persiapan kerja, tak tahu kebiasaannya malam-malam ketika menjelang tidur. Aku tak tahu apa-apa tentang Bapak. Ya cuma itu...koridor itu.

Umurku 12 tahun. Hidup penuh lamunan, hampir tak ada kegiatan lain. Lamunan panjang dari umur 10 tahun. Ketika ibuku menghibur aku dan abang dengan makan Bakmi GM dan dan mainan view master. Hanya untuk bicara "Nak, Bapak bukan sedang bertugas di Kalimantan, dia menikah lagi." Bengong, tak mengerti artinya, tak tahu penyebabnya, gelap bagaimana kelanjutannya.

Umurku 12 tahun. Prestasi merosot dari kelas 4. Raport dengan beberapa angka 5 yang warnanya merah. Prestasi itu apa? aku tak tahu. Kenapa murid harus juara? Aku tak tahu. Kenapa murid harus punya piala? Aku tak punya sama sekali. Ada PR apa? Ada ulangan apa? Aku nggak peduli, nggak tau kenapa harus dikerjakan. Tak ada ambisi, tak ada sesiapa yang mendorong aku untuk unggul.

Umurku 12 tahun. Berdiri bersandar di pintu kelas bagian luar, saat keluar main. Memandang teman-teman bermain. Melamunkan mereka adalah temanku, tapi bukan. Buktinya aku nggak diajaknya bermain. Aku tak pernah tersenyum, aku tak tahu bagaimana cara bergaul. Ucapan selamat pagi, apa kabar, salam sejahtera, minta tolong, terima kasih, silakan, dll, tak pernah terucap dari mulutku. Tak tau kalau itu perlu. Tak ada yang bilang padaku begitu.

Umurku 12 tahun. Aku tak punya teman. Perhatianku hanya pada teman sebangku, yang tak pernah kuajak bicara dan tidak mengajakku bicara juga. Meluas ke teman-teman di sekitar teman sebangku. Perhatianku pada si Desi. Perhatian yang sedetail-detailnya, sampai ke kebiasaan diantar siapa waktu datang, melakukan apa saja di kelas, hingga dijemput siapa pulang sekolah. Bingung, kenapa si Desi? kenapa nggak si Herman atau si Ivan?

Umurku 12 tahun. Aku melahirkan tokoh Yasmin. Aku mengkhayalkan si Yasmin, anaknya Pak Sutomo. Cerita aseli, nama palesu.

Saturday, 7 January 2012

Ditelikung itu...yah sudahlah


Kata pada judul di atas memang bukan kata kerja yang positif. Apalagi ditambahkan kata lain di belakangnya menjadi menelikung pacar, menelikung gebetan, menelikung istri orang. Waduh! Telikung menelikung sering kita dengar terjadi dimana-mana. Bagaimana urusan telikung dan menelikung di kehidupan lesbian, pernah terjadikah? Sering!

Kelompok-kelompok lesbian hadir on and off dalam kehidupanku. Setelah off beberapa lama, masuk lagi terkoreksi beberapa pasangan yang sudah lepas, tercipta pasangan baru. Bisa bertukar, bisa mantan sesiapa menjadi pasangan sesiapa yang lain. Mencengangkan? Memang!

Lalu seseorang bercurhat, gebetannya ditelikung sama temannya sendiri. Ia kemudian berkongsi dengan mantan penjahat penelikung itu. Apa yang dilakukan dengan kongsian itu? Ya tak ada, cuma saling memuncratkan curhat saja. Tentu saja disertai sikap nyinyir, sikap menjelek-jelekan siapa saja yang merugikan baginya. Saya yang netral, berkesempatan/ menyempatkan diri sih tepatnya bergabung juga dengan pihak yang menelikung teman saya itu, dengan kelompoknya, tentunya. Yang terdengar adalah curhatan senada, nyinyir dan menjelek-jelekkan pihak sana. Saya sering menghayalkan reaksi saya (menghayalkan karena kenyataannya saya nggak bereaksi apa-apa, alias lempeng): tutup kuping, menggeleng-gelengkan kepala dan berteriak tidak tidak tidaaaak....(begitu khayalannya). Hari pun habis (maksudnya udah malem) dan kami pulang ke rumah masing-masing. Leganya, aku jadi diriku sendiri lagi. Seperti anak kecil di jam tidur siang, saya pun mengendap-endap keluar. Off from that community. Jadi netral dan nggak masuk-masuk lagi dalam waktu yang sangat lama. Tapi, saya sudah bisa menduga, nanti nih setelah waktu yang sangat lama itu berlalu, saya masuk lagi ke salah satu kelompok ini, daaaaan situasi sudah berubah. Maksudnya situasinya sama, tapi dilakukan oleh sosok-sosok yang berbeda. Lalu saya off lagi dah... haaadeeegh capek!

Alangkah indahnya berada pada situasi pertemanan yang harmonis. Situasi yang justu aku dapatkan di kelompok teman-teman hetero.